Kerajaan Inderapura merupakan sebuah
kerajaan yang berada di wilayah kabupaten
Pesisir Selatan, Provinsi
Sumatera Barat sekarang, berbatasan dengan Provinsi
Bengkulu dan
Jambi. Secara resmi kerajaan ini pernah menjadi bawahan (
vazal)
Kerajaan Pagaruyung. Walau pada prakteknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya.
Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat
Sumatera mulai dari
Padang di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah
lada, dan juga
emas.
Inderapura dikenal juga sebagai Ujung Pagaruyung. Melemahnya kekuasaan Pagaruyung selama abad ke-15, beberapa daerah pada kawasan pesisir Minangkabau lainnya, seperti
Inderagiri,
Jambi, dan Inderapura dibiarkan mengurus dirinya sendiri.
[1]
Namun perkembangan Inderapura baru benar-benar dimulai saat
Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada
1511. Arus perdagangan yang tadinya melalui
Selat Malaka sebagian besar beralih ke pantai barat
Sumatera dan
Selat Sunda. Perkembangan dan ekspansi Inderapura terutama ditunjang oleh lada.
[1]
Kapan tepatnya Inderapura mencapai status negeri merdeka tidak diketahui dengan pasti. Namun diperkirakan, ini bertepatan dengan mulai maraknya perdagangan lada di wilayah tersebut. Pada pertengahan abad keenam belas didorong usaha penanaman lada batas selatan Inderapura mencapai Silebar (sekarang di
Provinsi Bengkulu). Pada masa ini Inderapura menjalin persahabatan dengan
Banten dan
Aceh.
Saat
Kesultanan Aceh melakukan ekspansi sampai wilayah
Pariaman. Inderapura menghentikan ekspansi tersebut dengan menjalin persahabatan dengan Aceh melalui ikatan perkawinan antara Raja Dewi, putri
Sultan Munawar Syah dari Inderapura,
[2] dengan Sultan Firman Syah, saudara raja Aceh saat itu,
Sultan Ali Ri'ayat Syah (1568-1575). Lewat hubungan perkawinan ini dan kekuatan ekonominya Inderapura mendapat pengaruh besar di Kotaraja (
Banda Aceh), bahkan para hulubalang dari Inderapura disebut-sebut berkomplot dalam pembunuhan putra Sultan Ali Ri'ayat Syah, sehingga melancarkan jalan buat suami Raja Dewi naik tahta dengan nama
Sultan Sri Alam pada 1576. Walau kekuasaannya hanya berlangsung selama tiga tahun sebelum tersingkir dari tahtanya karena pertentangan dengan para
ulama di Aceh.
Namun pengaruh Inderapura terus bertahan di Kesultanan Aceh, dari 1586 sampai 1588 salah seorang yang masih berkaitan dengan Raja Dewi, memerintah dengan gelar Sultan Ali Ri'ayat Syah II atau Sultan Buyong,
[3] sebelum akhirnya terbunuh oleh intrik ulama Aceh.
[1]
[sunting] Perekonomian
Berdasarkan laporan
Belanda, pada tahun 1616 Inderapura digambarkan sebagai sebuah kerajaan yang makmur dibawah pemerintahan Raja Itam, serta sekitar 30.000 rakyatnya terlibat dalam
pertanian dan
perkebunan yang mengandalkan komoditi
beras dan
lada. Selanjutnya pada masa Raja Besar sekitar tahun 1624,
VOC berhasil membuat perjanjian dalam pengumpulan hasil pertanian tersebut langsung dimuat ke atas kapal tanpa mesti merapat dulu di pelabuhan, serta dibebaskan dari cukai pelabuhan. Begitu juga pada masa Raja Puti, pengganti Raja Besar, Inderapura tetap menerapkan
pelabuhan bebas cukai dalam mendorong perekonomiannya.
[1]
Setelah ekspedisi penghukuman tahun 1633 oleh
Kesultanan Aceh, sampai tahun 1637 Inderapura tetap tidak mampu mendongkrak hasil pertaniannya mencapai hasil yang telah diperoleh pada masa-masa sebelumnya. Di saat penurunan pengaruh Aceh,
Sultan Muzzaffar Syah mulai melakukan konsolidasi kekuatan, yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya Sultan Muhammad Syah yang naik tahta sekitar tahun 1660 dan mulai kembali menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda dan Inggris.
Di bawah
Sultan Iskandar Muda, kesultanan Aceh seraya memerangi negeri-negeri penghasil lada di
Semenanjung Malaya, dan juga berusaha memperkuat cengkeramannya atas monopoli lada dari pantai barat Sumatera. Kendali ketat para wakil Aceh (disebut sebagai
panglima) di Tiku dan
Pariaman atas penjualan lada mengancam perdagangan Inderapura lewat pelabuhan di utara. Karena itu Inderapura mulai mengembangkan bandarnya di selatan, Silebar, yang biasanya digunakan untuk mengekspor lada lewat
Banten.
Inderapura juga berusaha mengelak dari membayar cukai pada para panglima Aceh. Ini memancing kemarahan penguasa Aceh yang mengirim armadanya pada
1633 untuk menghukum Inderapura. Raja Puti yang memerintah Inderapura saat itu dihukum mati beserta beberapa bangsawan lainnya, dan banyak orang ditawan dan dibawa ke
Kotaraja. Aceh menempatkan panglimanya di Inderapura dan Raja Malfarsyah diangkat menjadi raja menggantikan Raja Puti.
Di bawah pengganti Iskandar Muda,
Sultan Iskandar Tsani kendali Aceh melemah. Pada masa pemerintahan
Ratu Tajul Alam pengaruh Aceh di Inderapura mulai digantikan Belanda (
VOC).
[1] Dominasi VOC diawali ketika
Sultan Muhammad Syah meminta bantuan Belanda memadamkan pemberontakan di Inderapura pada tahun 1662. Pemberontakan ini dipicu oleh tuntutan Raja Adil yang merasa mempunyai hak atas tahta Inderapura berdasarkan sistem
matrilineal. Akibatnya Sultan Inderapura terpaksa melarikan diri beserta ayah dan kerabatnya. Kemudian Sultan Mansur Syah, dikirim ke
Batavia menanda-tangani perjanjian yang disepakati tahun 1663 dan memberikan VOC hak monopoli pembelian lada, dan hak pengerjaan tambang emas.
[4] Pada Oktober 1663 pemerintahan Inderapura kembali pulih, dan Sultan Inderapura mengakui Raja Adil sebagai wakilnya yang berkedudukan di Manjuto.
[5][1]
Pada masa Sultan Muhammad Syah, Inderapura dikunjungi oleh para pelaut
Bugis yang dipimpin oleh
Daeng Maruppa yang kemudian menikah dengan saudara perempuan Sultan Muhammad Syah, kemudian melahirkan
Daeng Mabela yang bergelar Sultan Seian,
[6] berdasarkan catatan
Inggris, Daeng Mabela pada tahun 1688 menjadi komandan pasukan Bugis untuk
EIC.
[7]
Sultan Muhammad Syah digantikan oleh anaknya
Sultan Mansur Syah (1691-1696), pada masa pemerintahannya bibit ketidakpuasan rakyatnya atas penerapan cukai yang tinggi serta dominasi monopoli dagang VOC kembali muncul. Namun pada tahun 1696 Sultan Mansur Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Raja Pesisir, yang baru berusia 6 tahun dan pemerintahannya berada dibawah perwalian neneknya.
[8] Puncak perlawanan rakyat Inderapura menyebabkan hancurnya pos VOC di
Pulau Cingkuak, sebagai reaksi terhadap serbuan itu, tanggal 6 Juni
1701 VOC membalas dengan mengirim pasukan dan berhasil mengendalikan Inderapura.
Inderapura akhirnya benar-benar runtuh pada
1792 ketika garnisun VOC di
Air Haji menyerbu Inderapura karena pertengkaran komandannya dengan Sultan Inderapura, kemudian Sultan Inderapura mengungsi ke
Bengkulu dan meninggal di sana (1824).
[9]
[sunting] Pemerintahan
Secara etimologi Inderapura berasal dari
Bahasa Sansekerta, dan dapat bermakna
Kota Raja. Inderapura pada awalnya adalah kawasan
rantau dari
Minangkabau, merupakan kawasan pesisir di pantai barat
Pulau Sumatera. Sebagai kawasan rantau, Inderapura dipimpin oleh wakil yang ditunjuk dari
Pagaruyung dan bergelar
Raja[10] kemudian juga bergelar
Sultan. Raja Inderapura diidentifikasikan sebagai putra
Raja Alam atau
Yang Dipertuan Pagaruyung.
[11]
[sunting] Wilayah kekuasaan
Pada akhir abad ketujuh belas pusat wilayah Inderapura, mencakup lembah sungai Airhaji dan Batang Inderapura, terdiri atas dua puluh koto. Masing-masing koto diperintah oleh seorang
menteri, yang berfungsi seperti
penghulu di wilayah Minangkabau lainnya. Sementara pada daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai Negeri Empat Belas Koto), dan Muko-muko (Lima Koto), sistem pemerintahannya tidak jauh berbeda.
Untuk kawasan utara, disebut dengan
Banda Sapuluah (
Bandar Sepuluh) yang dipimpin oleh
Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam
konfederasi dari 10 daerah atau
nagari (
negeri), yang juga masing-masing dipimpin oleh 10 orang
penghulu.
[1]
Pada kawasan bagian selatan, di mana sistem pemerintahan yang terdiri dari desa-desa berada di bawah wewenang
peroatin (kepala yang bertanggung jawab menyelesaikan sengketa di muara sungai). Peroatin ini pada awalnya berjumlah 59 orang (peroatin nan kurang satu enam puluh). Para menteri dan peroatin ini tunduk pada kekuasaan raja atau sultan.
Pada penghujung abad ketujuh belas para peroatin masih berfungsi sebagai kepala wilayah. Namun tugas-tugas menteri mulai bergeser seiring dengan proses terlepasnya Inderapura menjadi kerajaan terpisah dari Pagaruyung. Menteri Dua Puluh Koto di Inderapura bertindak sebagai penasihat kerajaan. Menteri Empat Belas Koto bertugas mengatur rumah tangga istana, sedangkan Menteri Lima Koto bertanggung jawab atas pertahanan.
[1]
Walau pada tahun 1691 kawasan Anak Sungai di bawah Raja Adil, melepaskan diri dari Inderapura dan menjadi kerajaan sendiri, yang pada awalnya didukung oleh Inggris. Namun tidak lama berselang ia mangkat dan digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Gulemat (1691-1716). Sultan Gulemat tidak berhasil menjadikan kawasan itu stabil dan kemudian juga kehilangan dukungan dari para menteri yang ada pada kawasan tersebut.
[12]
[sunting] Daftar Raja Inderapura
Berikut adalah daftar Raja Inderapura.
[sunting] Inderapura dalam fiksi
Hulubalang Raja, novel karangan
Nur Sutan Iskandar yang diterbitkan pertama kali oleh
Balai Pustaka tahun 1934, antara lain menceritakan pemberontakan rakyat Inderapura terhadap Sultan Muhammadsyah yang terjadi tahun 1662. Menurut cerita ini, pemberontakan tersebut terpicu oleh ulah istri Sultan Muhammadsyah yang membunuh saudara Raja Adil.
[13]
- ^ a b c d e f g h Kathirithamby-Wells, J. (1976). "The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century". Indonesia 21: 65-84.
- ^ Iskandar, T., (1966), Bustanu's-Salatin, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
- ^ Lombard, D., (2006), Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, ISBN 979-9100-49-6.
- ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
- ^ Daghregister, February 17, 1664, p. 48.
- ^ Helfrich, O. L., (1923), De Adel van Bengkoelen en Djambi (1892-1901), Adatrechtbundels, XXll:Gemengd, 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff, pp. 316-319.
- ^ Winter, (1874), De familie Daing Mabela., volgens een Maleisch handscbrilt, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol. 3, no. 2, pp. 115-121.
- ^ Coolhaas, W.P. (1964). "Generale Missiven der V.O.C.". Journal of Southeast Asian History 2 (7). doi:10.1017/S0217781100003318.
- ^ Amran, Rusli (23 Oktober 1981). Sumatra Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
- ^ Translation of the Undang Undang of Moco Moco, by Richard Farmer, Governor of Benkulen (1717-18), in Malayan Miscellanies, 11/13 (1822), pp. 8-9.
- ^ Netscher, E., (1850), Verzameling van over1everingen van het rijk van Manangkabau uit het oorspronkelijk Maleisch vertaald, Indisch Archief, II/2.
- ^ Kathirithamby-Wells J. et al, (1985), Syair Mukomuko: Some Historical Aspects of a Nineteenth Century Sumatran Court Chronicle, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Monograph No. 13, Kuala Lumpur.
- ^ Maman S. Mahayana dkk. Ringkasan dan ulasan novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo, 2007, hal. 50-53
[sunting] Bacaan lebih lanjut
- Kathirithamby-Wells, J. (April 1976). "The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century". Indonesia 21. http://www.jstor.org/pss/3350957.
- A.A. Navis, 1984, Alam Takambang Jadi Guru, Jakarta: PT. Pustaka Grafitipers
- Puti Balkis Alisjahbana, 1996, Natal ranah nan data. Jakarta: Dian Rakyat
- Rusli Amran, 1981, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
- Rusli Amran, 1985, Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan
- Stibe, 1939, Encyclopedie Van Nederlansch Indie. S. Graven Hage: Arsip Nasional
- Herwandi, 2003, Rakena: Mandeh Rubiah penerus kebesaran bundo kanduang dalam penggerogotan tradisi, Padang: Museum Adityawarman
- A. Samad Idris, 1990, Payung Terkembang, Kuala Lumpur: Pustaka Budiman
[sunting] Pranala luar