Minggu, 29 April 2012

Khitan Bagi Wanita & Hukumnya

Dalam kitab- kitab fikih disebutkan bahwa khitan artinya adalah ﻗﻄﻊ ﺍﻟﻗﻟﻔﺔ ﺍﻮ ﺍﻟﺠﻟﺪﺓ (ﻟﻟﺠﺭﻴﺔ) ,

Pengertian khitan maksudnya memotong kulit penutup KHASYAFAH (GLANDS PENIS) bagi anak lelaki atau kulit (PREPUCE) yang ada diatas CLITORIS bagi anak wanita.

Praktek ini sering disebut juga dengan istilah CIRCUMSISI, mengambil istilah dari suatu nama sekte Nashrani yang taat melakukan ajaran bersunat seperti apa yang dilakukan oleh Yesus sendiri dan para murid- muridnya serta dilakukan juga oleh para penganut Yahudi, sebagai warisan Millah Ibrohim.

Nabi Ibrohim menerima wahyu Allah untuk berkhitan tatkala beliau telah berumur 80 tahun, dan dilakukan dengan menggunakan kapak (Qodum), sesuai hadist Nabi dalam Asshohihain:
ﺇﺨﺘﺘﻥ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻡ ﻮﻫﻭ ﺍﺑﻥ ﺛﻤﺎﻨﻴﻦ ﺴﻨﺔ ﺑﺎﻟﻗﺪﻭﻡ

Dalam satu pendapat yang lain, Qodum adalah nama suatu tempat di negeri Syam. (Ibnu Hajar Al- Asqolani: Fatkhul Baari 10/ 386)

Imam Nawawi Ad- Dimasyqy dalam Syarah Sohih Muslim menjelaskan: “Yang wajib bagi laki- laki adalah memotong seluruh kulit (Qulf) yang menutupi kepala Khasyafah sehingga kepala Dzakar itu terbuka seluruhnya. Sedangkan bagi wanita yang wajib hanyalah memotong SEDIKIT daging (Jildah) yang berada pada bagian atas Farj. (Syarah Muslim 1/543, Fatkhul Bari 10/384- 387, Syarhul- Muhadzab).

Sebagian orang yang kurang mengerti sering mencampur adukkan antara khitan wanita (Female Circumsision) yang islamy dengan VAGINA MUTILATION yang pada praktiknya memotong habis seluruh LABIA (Labia mayora dan Labia minora) dan kemudian menjahitnya sehingga tersisa lubang yang sedikit, dimana praktek model ini banyak dilakukan di Africa, dan ini murni budaya Africa kuno yang tidak ada hubungannnya sama sekali dengan ajaran islam yang murni. Rasulullah tatkala melihat pelaksanaan khitan wanita di Madinah yang dilakukan oleh seorang Shohabiyah yang bernama Ummi ‘Atiyah berpesan wanti- wanti agar jangan melakukan praktek yang berlebihan itu dengan mengatakan:
ﺇﺫﺍ ﺤﺿﺕ ﻔﺎﺸﻤﻲ ﻮﻻ ﺘﻧﻬﻜﻲ ﻔﺈﻨﻪ ﺃﺴﺮﻯ ﻟﻟﻮﺠﻪ ﻮﺃﺨﺿﻰ ﻟﻟﺯﻮﺝ . ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺨﺎﻄﺐ

“Jika kamu mengkhitan maka hendaklah sedikit saja, jangan dihabiskan, karena yang demikian itu lebih mempercantik wajah dan lebih disukai suami” (H.R. Abu Dawud dan Al- Khotib.)

Abu Dawud menilai hadist ini ada titik lemah, namun menurut Imam Ibnu Hajar Al- Asqolani, hadist ini memiliki dua saksi penguat, yakni melalui hadist Anas dan hadist Ummu Aiman.

Yang dimaksudkan dengan lafadh “Isymi” adalah ratakan, sehingga bagian kulit (prepuce) yang keluar dan menonjol dari bibir faraj dipotong sehingga masih ada bagian yang ada didalam bibir faraj.

Seperti diketahui bahwa CLITORIS dan Prepuce (yang merupakan Obstacle clitoris) adalah bagian kewanitaan yang sangat sensitive dan mudah terangsang, sehingga bila ada bagian Obstacle yang menonjol maka akan sangat mudah bersentuhan dengan benda- benda luar yang akan berakibat bangkitnya nafsu birahi seorang wanita. Maka Islam sebagai suatu agama yang suci menjaga kesucian para wanita agar mereka hanya bangkit nafsu seksualnya tatkala telah disentuh dan di trigger oleh suaminya saja dan tidak terangsang disetiap waktu dan keadaan, sehingga dengan demikian akan selalu terjaga hubungan seksual yang suci yang diridhoi Allah SWT.

Hukum dan Tujuan Khitan

Adapun dalil dan dasar- dasar hukum yang berkenaan dengan masalah khitan adalah:

1. Firman Allah: “Kemudian aku wahyukan kepadamu (Muhammad), agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif (condong/ berpihak kepada kebenaran). An- Nahl 123. Beberapa ayat yang senada juga dapat ditemukan dalam bagian lain Surah Al- Qur’an.

Rasulullah menyatakan:”Dasar kesucian (FITRAH) itu ada lima, yaitu:

1- Khitan,

2- Mencukur bulu kemaluan,

3- Mencukur bulu ketiak, 4- Mencukur kumis, dan

5- Memotong kuku- kuku”. H.R. Bukhori dan Muslim. Hadist ini adalah sumber yang paling shohih tentang masalah khitan ini dan bersifat UMUM, artinya berlaku baik untuk laki- laki dan perempuan.

Dalam hal ini Fitrah identik dengan Sunnah atau Ad- Dien

yang bersesuaian dengan ajaran islam, karena itu khitan dalam khazanah bahasa Indonesia

sering juga disebut SUNNATAN.

Rasulullah bersabda: “Allah tidak menerima sholat kalian bila tidak suci”. Tanpa berkhitan, selalu ada sisa- sisa air seni/ najis yang tertinggal dibawah Qulf. Maka agar sholat kita diterima Allah, kita harus berkhitan sebagai usaha agar kesucian terjamin. Sesuai Qo’idah USHUL FIQH yang menyatakan: ﻤﺎ ﻻ ﻴﺘﻡ ﺍﻠﻮﺍﺠﺐ ﺍﻻ ﺑﻪ ﻔﻬﻭ ﻮﺍﺠﺐ “Sesuatu yang (menyebabkan) sebuah kewajiban tak mungkin bisa dilakukan dengan sempurna, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib”. Maka hukum khitan bagi lelaki yang berdasar hadist diatas yang pada asalnya sunnah, menjadi wajib karena sebagai sarana kesucian untuk melaksanakan sebuah kewajiban.

Hukum khitan bagi laki- laki adalah WAJIB, ini disepakati oleh Jumhur Ulama’, sedang bagi wanita diperselisihkan diantara para Ulama, yakni antara Wajib dan Sunnah.

Sebahagian menyatakan kewajiban khitan bagi wanita seperti pendapat Ashab As-Syafi’I, sebagaimana kewajiban khitan bagi kaum lelaki dengan beberapa alasan, yaitu:

1. Khitan wanita sering dinyatakan oleh Rasulullah secara berbarengan dengan kaum lelaki, sesuai pernyataan beliau: “Apabila bertemu dua khitan maka mereka wajib mandi” Hadist riwayat At- Turmudzi, Ahmad dan Ibnu Majah. Masih banyak lagi hadist yang semakna dengan hadist ini .

2. Dalam hadist yang lain Nabi menyatakan bahwa “Kaum wanita itu saudaranya kaum lelaki”. Maka kalau lelaki wajib berkhitan, maka kaum perempuan juga wajib berkhitan.

Demikian ini keyakinan sebahagian para ulama Syafi’iyah sebagaimana terungkap

dalam pernyataan Imam Nawawi sesuai keterangan diawal tulisan ini, mereka berpendapat

bahwa khitan bagi wanita itu WAJIB hukumnya.

Sedangkan menurut Imam Malik dan sebagian lagi sahabat Syafi’I seperti pernyataan Sohibul Mughni dari Ahmad, menyatakan hukumnya sunnah berdasarkan keumuman hadist shohih riwayat Bukhori dan Muslim, dan hadist dari Syaddad bin Aus yang menyatakan:
ﺍﻟﺨﺗﺎﻥ ﺴﻧﺔ ﻟﻟﺮﺠﻞ ﻤﻜﺮﻤﺔ ﻟﻟﻨﺴﺎﺀ

“Khitan itu perilaku Nabi- nabi bagi lelaki dan kehormatan bagi kaum wanita”

Disamping itu hujjah bagi mereka yang menyatakan tidak wajibnya khitan bagi wanita, karena khitan wanita tidak mempengaruhi keabsahan ibadah sholatnya, tapi lebih dimaksudkan untuk menstabilkan hasrat seksualnya sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Taimiyah tatkala beliau ditanya: Apakah wanita juga dikhitan? Beliau menjawab:” Ya, wanita itu dikhitan. Dan khitannya dengan memotong kulit yang paling atas (jildah) yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah bersabda: “Sedikit saja jangan semuanya karena itu lebih bisa membuat wajah ceria dan lebih disenangi suami” Hal itu karena tujuan khitan laki- laki ialah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit dzakar, sedangkan tujuan khitan wanita adalah untuk menstabilkan syahwatnya, karena kalau wanita tidak dikhitan, maka syahwatnya akan sangat besar. (Majmu’ fatawa 21/114)

Waktu Khitan

Menurut Al- Mawardy, ada tiga waktu untuk berkhitan, yakni:

1. Waktu WAJIB, yakni saat seorang anak telah mencapai umur BALIGH.
2. Waktu Sunnah, Yakni saat anak belum mencapai umur baligh.
3. Waktu Ikhtiyar, yakni saat bayi umur 7 (tujuh) hari, atau 40 hari atau umur 7 (tujuh) tahun saat anak mulai diajari dan diperintah sholat.

Walimatul khitan

Dasar yang kuat tentang walimatul khitan tidak ditemukan, namun sebagian para salaf telah melakukan itu untuk khitan lelaki, sedang khitan wanita tidak diumumkan.

Syekh Abu Abdullah bin Al- Haj dalam “Al- Madkhol” menyatakan:
ﺃﻥﺍﻟﺴﻧﺔ ﺇﻆﻬﺎﺮ ﺨﺗﺎﻥ ﺍﻟﺫﻜﺮ ﻭﺇﺨﻔﺎﺀ ﺨﺗﺎﻥ ﺍﻷﻧﺛﻰ . ﻭﺍﻟﻟﻪ ﺍﻋﻠﻡ

“Sesungguhnya yang sunnah, menjelaskan/ terang- terangan untuk pelaksanaan khitan anak lelaki, dan menyamarkan pelaksanaan khitan bagi wanita”. Wallahu a’lam.

Lihat masalah ini pada Fatkhul Baari Syarah Shohih Bukhory oleh Imam Ibnu Hajar Al- Asqolani juz 10 halaman 384- 387.Darul Hadist Qohiroh1424 H, dll)

Beberapa titik perbedaan pendapat yang bila kita sarikan akan terbagi menjadi beberapa pendapat, yaitu:

1. Pendapat pertama:

Khitan Hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi (lihat Hasyiah Ibnu Abidin: 5-479;al-Ikhtiyar 4-167), mazhab Maliki (lihat As-syarhu As-shaghir 2-151)dan Syafi`i dalam riwayat yang syaz (lihat Al-Majmu` 1-300).

Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan wajib, namun merupakan fithrah dan syiar Islam. Bila seandainya seluruh penduduk negeri sepakat untuk tidak melakukan khitan, maka negara berhak untuk memerangi mereka sebagaimana hukumnya bila seluruh penduduk negeri tidak melaksanakan azan dalam shalat.

Khusus masalah mengkhitan anak wanita, mereka memandang bahwa hukumnya mandub (sunnah), yaitu menurut mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan Hanbali.

Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas marfu` kepada Rasulullah SAW,

`Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.` (HR Ahmad dan Baihaqi).

Selain itu mereka juga berdalil bahwa khitan itu hukumnya sunnah bukan wajib karena disebutkan dalam hadits bahwa khitan itu bagian dari fithrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.

2. Pendapat kedua,

Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh mazhab Syafi`i (lihat almajmu` 1-284/285; almuntaqa 7-232), mazhab Hanbali (lihat Kasysyaf Al-Qanna` 1-80 dan al-Inshaaf 1-123).

Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki maupun bagi wanita. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al-Quran dan sunnah:

`Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus` (QS. An-Nahl: 123).

Dan hadits dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

`Nabi Ibrahim as. berkhitan saat berusia 80 dengan kapak`. (HR. Bukhari dan muslim).

Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim as. karena merupakan bagian dari syariat kita juga`.

Dan juga hadits yang berbunyi,

`Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah` (HR. As-Syafi`i dalam kitab Al-Umm yang aslinya dri hadits Aisyah riwayat Muslim).

3. Pendapat ketiga:

Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita. Pendapat ini dipengang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita tapi tidak wajib. (lihat Al-Mughni 1-85)

Di antara dalil tentang khitan bagi wanita adalah sebuah hadits meski tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah SAW pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak wanita. Rasulullah SAW bersabda

`Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.

Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi wanita lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadits yang kita miliki pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam mengkhitan wanita.

Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu sebaiknya diserahkan kepada budaya tiap negeri, apakah mereka memang melakukan khitan pada wanita atau tidak. Bila budaya di negeri itu biasa melakukannya, maka ada baiknya untuk mengikutinya. Namun biasanya khitan wanita itu dilakukan saat mereka masih kecil.

Sedangkan khitan untuk wanita yang sudah dewasa, akan menjadi masalah tersendiri karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat untuk melakukanya. Berbeda dengan laki-laki yang menjalankan khitan karena ada alasan masalah kesucian dari sisa air kencing yang merupakan najis. Sehingga sudah dewasa, khitan menjadi penting untuk dilakukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar